Minggu, 07 Juli 2013

ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

 

"ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA"

PENGERTIAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja.
Angiofibroma nasofaring belia Angiofibroma nasofaring belia merupakan neoplasma vaskuler yang terjadi hanya ada laki-laki, biasanya selama masa prepubertas dan remaja
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun.
Angiofibroma Nasofaring Belia merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher

ETIOLOGI ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Etiologi Angiofibroma Nasofaring Belia masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal
Secara histopatologi, Angiofibroma Nasofaring Belia termasuk tumor jinak, tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna.
Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, Angiofibroma Nasofaring Belia meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.

TANDA DAN GEJALA ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.
Angiofibroma Nasofaring Belia sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.

PENEGAKAN DIAGNOSIS ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila.
Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang masif dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Angiofibroma Nasofaring Belia dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan lain-lain.

PENATALAKSANAAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Belia adalah dengan pembedahan; dimana 6-24% rekuren, stereotactic radioterapi; digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-kasus yang rekuren.
Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Belia adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan selama operasi2,4,5. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah masing-masing.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan yang berlebihan dan transformasi maligna.

STADIUM ANGIOFIBROMA

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :
  1. Stage I A         : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
  2. Stage I B         : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
  3. Stage II A       : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
  4. Stage II B       : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita.
  5. Stage III A      : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.
  6. Stage III B      : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch :
  1. Stage I             : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
  2. Stage II           :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang.
  3. Stage III          :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
  4. Stage IV          : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa pituitary.

PENGKAJIAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

  1. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara
  2. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
  3. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan (daging dan ikan).
  4. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)

TANDA dan GEJALA ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

  1. Aktivitas
    Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
  2. Sirkulasi
    Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidaung.
  3. Integritas ego
    Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
  4. Eliminasi
    Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
  5. Makanan/cairan
    Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
  6. Neurosensori
    Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
  7. Nyeri/kenyamanan
    Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan
  8. Pernapasan
    Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)
  9. Keamanan
    Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
  10. Interaksi sosial
    Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
  11. (Doenges, 2000)

DIAGNOSA KEPERAWATAN dan INTERVENSI KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

  1. Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf
    1. Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
    2. Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri.
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
      2. Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.
      3. Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
      4. Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
      5. Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik.
  2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder
    1. Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
    2. Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
      2. Orientasikan pasien terhadap lingkungan
      3. Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
      4. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
      5. Bicara dengan gerak mulut yang jelas
      6. Bicara pada sisi telinga yang sehat
  3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder
    1. Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
    2. Kriteria hasil :
      1. Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
      2. Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
      3. Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
      4. Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasien
      2. Berikan dorongan higiene oral yang sering
      3. Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
      4. Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
      5. Pantau masukan makanan tiap hari
      6. Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
      7. Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat.
      8. Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)
  4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
    1. Tujuan : tidak terjadi infeksi
    2. Kriteria hasil :
      1. Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
      2. Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
      3. Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi :
      2. Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
      3. Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
      4. Tekankan higiene personal
      5. Pantau suhu
      6. Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)
  5. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
    1. Tujuan : perdarahan dapat teratasi
    2. Kriteria hasil :
      1. Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
      2. Tidak menunjukkan adanya epistaksis
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
      2. Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
      3. Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/ gesekan pada hidung

Kepustakaan

  1. Averdi R, Umar SD. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I. Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5, Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2.
  2. Adams GL, et al. Boies – Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.
  3. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
  4. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
  5. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
  6. Sadeghi N. Sinonasal Papillomas, Treatment. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic529.html
  7. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001
  8. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic470.html

 

PENGERTIAN

PENGERTIAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja.
Angiofibroma nasofaring belia Angiofibroma nasofaring belia merupakan neoplasma vaskuler yang terjadi hanya ada laki-laki, biasanya selama masa prepubertas dan remaja
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun.
Angiofibroma Nasofaring Belia merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher

ETIOLOGI ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Etiologi Angiofibroma Nasofaring Belia masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal
Secara histopatologi, Angiofibroma Nasofaring Belia termasuk tumor jinak, tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna.
Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, Angiofibroma Nasofaring Belia meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.

TANDA DAN GEJALA ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.
Angiofibroma Nasofaring Belia sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.

PENEGAKAN DIAGNOSIS ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila.
Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang masif dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Angiofibroma Nasofaring Belia dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan lain-lain.

PENATALAKSANAAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Belia adalah dengan pembedahan; dimana 6-24% rekuren, stereotactic radioterapi; digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-kasus yang rekuren.
Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Belia adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan selama operasi2,4,5. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah masing-masing.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan yang berlebihan dan transformasi maligna.

STADIUM ANGIOFIBROMA

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :
  1. Stage I A         : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
  2. Stage I B         : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
  3. Stage II A       : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
  4. Stage II B       : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita.
  5. Stage III A      : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.
  6. Stage III B      : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch :
  1. Stage I             : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
  2. Stage II           :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang.
  3. Stage III          :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
  4. Stage IV          : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa pituitary.

PENGKAJIAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

  1. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara
  2. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
  3. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan (daging dan ikan).
  4. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)

TANDA dan GEJALA ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

  1. Aktivitas
    Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
  2. Sirkulasi
    Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidaung.
  3. Integritas ego
    Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
  4. Eliminasi
    Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
  5. Makanan/cairan
    Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
  6. Neurosensori
    Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
  7. Nyeri/kenyamanan
    Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan
  8. Pernapasan
    Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)
  9. Keamanan
    Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
  10. Interaksi sosial
    Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
  11. (Doenges, 2000)

DIAGNOSA KEPERAWATAN dan INTERVENSI KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

  1. Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf
    1. Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
    2. Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri.
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
      2. Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.
      3. Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
      4. Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
      5. Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik.
  2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder
    1. Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
    2. Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
      2. Orientasikan pasien terhadap lingkungan
      3. Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
      4. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
      5. Bicara dengan gerak mulut yang jelas
      6. Bicara pada sisi telinga yang sehat
  3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder
    1. Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
    2. Kriteria hasil :
      1. Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
      2. Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
      3. Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
      4. Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasien
      2. Berikan dorongan higiene oral yang sering
      3. Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
      4. Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
      5. Pantau masukan makanan tiap hari
      6. Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
      7. Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat.
      8. Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)
  4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
    1. Tujuan : tidak terjadi infeksi
    2. Kriteria hasil :
      1. Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
      2. Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
      3. Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi :
      2. Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
      3. Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
      4. Tekankan higiene personal
      5. Pantau suhu
      6. Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)
  5. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
    1. Tujuan : perdarahan dapat teratasi
    2. Kriteria hasil :
      1. Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
      2. Tidak menunjukkan adanya epistaksis
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
      2. Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
      3. Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/ gesekan pada hidung

Kepustakaan

  1. Averdi R, Umar SD. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I. Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5, Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2.
  2. Adams GL, et al. Boies – Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.
  3. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
  4. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
  5. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
  6. Sadeghi N. Sinonasal Papillomas, Treatment. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic529.html
  7. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001
  8. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic470.html
Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja.
Angiofibroma nasofaring belia Angiofibroma nasofaring belia merupakan neoplasma vaskuler yang terjadi hanya ada laki-laki, biasanya selama masa prepubertas dan remaja
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun.
Angiofibroma Nasofaring Belia merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher

ETIOLOGI ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Etiologi Angiofibroma Nasofaring Belia masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal
Secara histopatologi, Angiofibroma Nasofaring Belia termasuk tumor jinak, tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna.
Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, Angiofibroma Nasofaring Belia meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.

TANDA DAN GEJALA ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.
Angiofibroma Nasofaring Belia sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.

PENEGAKAN DIAGNOSIS ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila.
Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang masif dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Angiofibroma Nasofaring Belia dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan lain-lain.

PENATALAKSANAAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Belia adalah dengan pembedahan; dimana 6-24% rekuren, stereotactic radioterapi; digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-kasus yang rekuren.
Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Belia adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan selama operasi2,4,5. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah masing-masing.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan yang berlebihan dan transformasi maligna.

STADIUM ANGIOFIBROMA

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :
  1. Stage I A         : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
  2. Stage I B         : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
  3. Stage II A       : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
  4. Stage II B       : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita.
  5. Stage III A      : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.
  6. Stage III B      : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch :
  1. Stage I             : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
  2. Stage II           :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang.
  3. Stage III          :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
  4. Stage IV          : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa pituitary.

PENGKAJIAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

  1. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara
  2. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
  3. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan (daging dan ikan).
  4. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)

TANDA dan GEJALA ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

  1. Aktivitas
    Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
  2. Sirkulasi
    Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidaung.
  3. Integritas ego
    Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
  4. Eliminasi
    Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
  5. Makanan/cairan
    Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
  6. Neurosensori
    Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
  7. Nyeri/kenyamanan
    Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan
  8. Pernapasan
    Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)
  9. Keamanan
    Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
  10. Interaksi sosial
    Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
  11. (Doenges, 2000)

DIAGNOSA KEPERAWATAN dan INTERVENSI KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

  1. Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf
    1. Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
    2. Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri.
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
      2. Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.
      3. Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
      4. Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
      5. Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik.
  2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder
    1. Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
    2. Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
      2. Orientasikan pasien terhadap lingkungan
      3. Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
      4. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
      5. Bicara dengan gerak mulut yang jelas
      6. Bicara pada sisi telinga yang sehat
  3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder
    1. Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
    2. Kriteria hasil :
      1. Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
      2. Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
      3. Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
      4. Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasien
      2. Berikan dorongan higiene oral yang sering
      3. Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
      4. Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
      5. Pantau masukan makanan tiap hari
      6. Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
      7. Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat.
      8. Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)
  4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
    1. Tujuan : tidak terjadi infeksi
    2. Kriteria hasil :
      1. Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
      2. Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
      3. Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi :
      2. Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
      3. Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
      4. Tekankan higiene personal
      5. Pantau suhu
      6. Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)
  5. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
    1. Tujuan : perdarahan dapat teratasi
    2. Kriteria hasil :
      1. Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
      2. Tidak menunjukkan adanya epistaksis
    3. Intervensi Keperawatan :
      1. Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
      2. Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
      3. Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/ gesekan pada hidung

Kepustakaan

  1. Averdi R, Umar SD. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I. Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5, Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2.
  2. Adams GL, et al. Boies – Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.
  3. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
  4. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
  5. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
  6. Sadeghi N. Sinonasal Papillomas, Treatment. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic529.html
  7. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001
  8. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic470.html

PENGERTIAN APPENDIXITIS Appendixitis adalah inflamasi akut pada appendix verniformis dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Brunner & Suddart, 1997) Gambar Organ Appendix ETIOLOGI APPENDIXITIS Appendixcitis tersumbat atau terlipat oleh: Fekalis / massa keras dari feses Tumor, hiperplasia folikel limfoid Benda asing PATOFISIOLOGI APPENDIXITIS Appendixitis yang terinflamasi dan mengalami edema. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intra luminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif dalam beberapa jam, trlokalisasi di kuadran kanan bawah dari abdomen. Appendiks terinflamasi berisi pus PATHWAYS APPENDIXITIS Download Pathway Appenixitis Via Ziddu Download Pathway Appendixitis Via Mediafire TANDA DAN GEJALA APPENDIXITIS Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan Mual, muntah Anoreksia, malaisse Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney Spasme otot Konstipasi, diare (Brunner & Suddart, 1997) PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK APPENDIXITIS Sel darah putih : lekositosis diatas 12000/mm3, Neutrofil meningkat sampai 75% Urinalisis : normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada Foto abdomen: Adanya pergeseran material pada appendiks (fekalis) ileus terlokalisir Tanda rovsing (+) : dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah (Doenges, 1993; Brunner & Suddart, 1997) KOMPLIKASI APPENDIXITIS Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses apendix Tromboflebitis supuratif Abses subfrenikus Obstruksi intestinal PENATALAKSANAAN APPENDIXITIS Pembedahan diindikasikan bila diagnosa Appendixcitis telah ditegakkan Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedhan dilakukan Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan Appendiktomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. (Brunner & Suddart, 1997) PENGKAJIAN APPENDIXITIS Aktivitas/ istirahat: Malaise Sirkulasi : Tachikardi Eliminasi Konstipasi pada awitan awal Diare (kadang-kadang Distensi abdome Nyeri tekan/lepas abdomen Penurunan bising usus Cairan/makanan : anoreksia, mual, muntah Kenyamanan: Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau nafas dalam Keamanan : demam Pernapasan Tachipnea Pernapasan dangkal (Brunner & Suddart, 1997) DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN APPENDIXITIS Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama, perforasi,peritonitis sekunder terhadap proses inflamasi Tujuan : tidak terjadi infeksi Kriteria: Penyembuhan luka berjalan baik Tidak ada tanda infeksi seperti eritema, demam, drainase purulen Tekanan darah > 90/60 mmHg Nadi normal Abdomen lunak, tidak ada distensi Bising usus 5-34 x/menit Intervensi: Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Waspadai nyeri yang menjadi hebat Awasi dan catat tanda vital terhadap peningkatan suhu, nadi, adanya pernapasan cepat dan dangkal Kaji abdomen terhadap kekakuan dan distensi, penurunan bising usus Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptik Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/drain, eriitema Kolaborasi: antibiotik Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi, adanya insisi bedah Kriteria hasil: Persepsi subyektif tentang nyeri menurun Tampak rileks Pasien dapat istirahat dengan cukup Intervensi: Kaji nyeri. Catat lokasi, karakteristik nyeri Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler Dorong untuk ambulasi dini Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat untuk membantu melepaskan otot yang tegang Hindari tekanan area popliteal Berikan antiemetik, analgetik sesuai program


Appendixitis adalah inflamasi akut pada appendix verniformis dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Brunner & Suddart, 1997)
Gambar Organ Appendix

ETIOLOGI APPENDIXITIS

Appendixcitis tersumbat atau terlipat oleh:
  1. Fekalis / massa keras dari feses
  2. Tumor, hiperplasia folikel limfoid
  3. Benda asing

PATOFISIOLOGI APPENDIXITIS

Appendixitis yang terinflamasi dan mengalami edema. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intra luminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif dalam beberapa jam, trlokalisasi di kuadran kanan bawah dari abdomen. Appendiks terinflamasi berisi pus

PATHWAYS APPENDIXITIS

  1. Download Pathway Appenixitis Via Ziddu
  2. Download Pathway Appendixitis Via Mediafire

TANDA DAN GEJALA APPENDIXITIS

  1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan
  2. Mual, muntah
  3. Anoreksia, malaisse
  4. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney
  5. Spasme otot
  6. Konstipasi, diare
(Brunner & Suddart, 1997)

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK APPENDIXITIS

  1. Sel darah putih : lekositosis diatas 12000/mm3,
  2. Neutrofil meningkat sampai 75%
  3. Urinalisis : normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada
  4. Foto abdomen: Adanya pergeseran material pada appendiks (fekalis) ileus terlokalisir
  5. Tanda rovsing (+) : dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah
(Doenges, 1993; Brunner &  Suddart, 1997)

KOMPLIKASI APPENDIXITIS

  1. Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses apendix
  2. Tromboflebitis supuratif
  3. Abses subfrenikus
  4. Obstruksi intestinal

PENATALAKSANAAN APPENDIXITIS

  1. Pembedahan diindikasikan bila diagnosa Appendixcitis telah ditegakkan
  2. Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedhan dilakukan
  3. Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan
  4. Appendiktomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
(Brunner & Suddart, 1997)

PENGKAJIAN APPENDIXITIS

  1. Aktivitas/ istirahat: Malaise
  2. Sirkulasi : Tachikardi
  3. Eliminasi
    1. Konstipasi pada awitan awal
    2. Diare (kadang-kadang
    3. Distensi abdome
    4. Nyeri tekan/lepas abdomen
    5. Penurunan bising usus
  4. Cairan/makanan : anoreksia, mual, muntah
  5. Kenyamanan: Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau nafas dalam
  6. Keamanan : demam
  7. Pernapasan
    1. Tachipnea
    2. Pernapasan dangkal
(Brunner & Suddart, 1997)

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN APPENDIXITIS

  1. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama, perforasi,peritonitis sekunder terhadap proses inflamasi
    1. Tujuan : tidak terjadi infeksi
    2. Kriteria:
      1. Penyembuhan luka berjalan baik
      2. Tidak ada tanda infeksi seperti eritema, demam, drainase purulen
      3. Tekanan darah > 90/60 mmHg
      4. Nadi normal
      5. Abdomen lunak, tidak ada distensi
      6. Bising usus 5-34 x/menit
    3. Intervensi:
      1. Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Waspadai nyeri yang menjadi hebat
      2. Awasi dan catat tanda vital terhadap peningkatan suhu, nadi, adanya pernapasan cepat dan dangkal
      3. Kaji abdomen terhadap kekakuan dan distensi, penurunan bising usus
      4. Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptik
      5. Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/drain, eriitema
      6. Kolaborasi: antibiotik
  2. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi, adanya insisi bedah
    1. Kriteria hasil:
      1. Persepsi subyektif tentang nyeri menurun
      2. Tampak rileks
      3. Pasien dapat istirahat dengan cukup
    2. Intervensi:
      1. Kaji nyeri. Catat lokasi, karakteristik nyeri
      2. Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler
      3. Dorong untuk ambulasi dini
      4. Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat untuk membantu melepaskan otot yang tegang
      5. Hindari tekanan area popliteal
      6. Berikan antiemetik, analgetik sesuai program
  3. Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan inflamasi peritoneum dengan cairan asing, muntah praoperasi, pembatasan pasca operasi
    1. Kriteria hasil;
      1. Membran mukosa lembab
      2. Turgor kulit baik
      3. Haluaran urin adekuat: 1 cc/kg BB/jam
      4. Tanda vital stabil
    2. Intervensi:
      1. Awasi tekanan darah dan ta

ASKEP APPENDIXCITIS

 

 "ASUHAN KEPERAWATAN APPENDICITIS"

PENGERTIAN APPENDIXITIS

Appendixitis adalah inflamasi akut pada appendix verniformis dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Brunner & Suddart, 1997)
Gambar Organ Appendix

ETIOLOGI APPENDIXITIS

Appendixcitis tersumbat atau terlipat oleh:
  1. Fekalis / massa keras dari feses
  2. Tumor, hiperplasia folikel limfoid
  3. Benda asing

PATOFISIOLOGI APPENDIXITIS

Appendixitis yang terinflamasi dan mengalami edema. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intra luminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif dalam beberapa jam, trlokalisasi di kuadran kanan bawah dari abdomen. Appendiks terinflamasi berisi pus

PATHWAYS APPENDIXITIS

  1. Download Pathway Appenixitis Via Ziddu
  2. Download Pathway Appendixitis Via Mediafire

TANDA DAN GEJALA APPENDIXITIS

  1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan
  2. Mual, muntah
  3. Anoreksia, malaisse
  4. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney
  5. Spasme otot
  6. Konstipasi, diare
(Brunner & Suddart, 1997)

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK APPENDIXITIS

  1. Sel darah putih : lekositosis diatas 12000/mm3,
  2. Neutrofil meningkat sampai 75%
  3. Urinalisis : normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada
  4. Foto abdomen: Adanya pergeseran material pada appendiks (fekalis) ileus terlokalisir
  5. Tanda rovsing (+) : dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah
(Doenges, 1993; Brunner &  Suddart, 1997)

KOMPLIKASI APPENDIXITIS

  1. Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses apendix
  2. Tromboflebitis supuratif
  3. Abses subfrenikus
  4. Obstruksi intestinal

PENATALAKSANAAN APPENDIXITIS

  1. Pembedahan diindikasikan bila diagnosa Appendixcitis telah ditegakkan
  2. Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedhan dilakukan
  3. Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan
  4. Appendiktomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
(Brunner & Suddart, 1997)

PENGKAJIAN APPENDIXITIS

  1. Aktivitas/ istirahat: Malaise
  2. Sirkulasi : Tachikardi
  3. Eliminasi
    1. Konstipasi pada awitan awal
    2. Diare (kadang-kadang
    3. Distensi abdome
    4. Nyeri tekan/lepas abdomen
    5. Penurunan bising usus
  4. Cairan/makanan : anoreksia, mual, muntah
  5. Kenyamanan: Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau nafas dalam
  6. Keamanan : demam
  7. Pernapasan
    1. Tachipnea
    2. Pernapasan dangkal
(Brunner & Suddart, 1997)

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN APPENDIXITIS

  1. Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama, perforasi,peritonitis sekunder terhadap proses inflamasi
    1. Tujuan : tidak terjadi infeksi
    2. Kriteria:
      1. Penyembuhan luka berjalan baik
      2. Tidak ada tanda infeksi seperti eritema, demam, drainase purulen
      3. Tekanan darah > 90/60 mmHg
      4. Nadi normal
      5. Abdomen lunak, tidak ada distensi
      6. Bising usus 5-34 x/menit
    3. Intervensi:
      1. Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Waspadai nyeri yang menjadi hebat
      2. Awasi dan catat tanda vital terhadap peningkatan suhu, nadi, adanya pernapasan cepat dan dangkal
      3. Kaji abdomen terhadap kekakuan dan distensi, penurunan bising usus
      4. Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptik
      5. Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/drain, eriitema
      6. Kolaborasi: antibiotik
  2. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi, adanya insisi bedah
    1. Kriteria hasil:
      1. Persepsi subyektif tentang nyeri menurun
      2. Tampak rileks
      3. Pasien dapat istirahat dengan cukup
    2. Intervensi:
      1. Kaji nyeri. Catat lokasi, karakteristik nyeri
      2. Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler
      3. Dorong untuk ambulasi dini
      4. Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat untuk membantu melepaskan otot yang tegang
      5. Hindari tekanan area popliteal
      6. Berikan antiemetik, analgetik sesuai program
  3. Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan inflamasi peritoneum dengan cairan asing, muntah praoperasi, pembatasan pasca operasi
    1. Kriteria hasil;
      1. Membran mukosa lembab
      2. Turgor kulit baik
      3. Haluaran urin adekuat: 1 cc/kg BB/jam
      4. Tanda vital stabil
    2. Intervensi:
      1. Awasi tekanan darah dan tanda vial
      2. Kaji turgor kulit, membran mukosa, capilary refill
      3. Monitor masukan dan haluaran . Catat warna urin/konsentrasi
      4. Auskultasi bising usus. Catat kelancara flatus
      5. Berikan perawatan mulut sering
      6. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan peroral dimulai dan lanjutkan dengan diet sesuai toleransi
      7. Berikan cairan IV dan Elektrolit
  4. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi
    1. Kriteria:
      1. Menyatakan pemahamannya tentang proese penyakit, pengobatan
      2. Berpartisipasidalam program pengobatan
    2. Intervensi
      1. Kaji ulang embatasan aktivitas paska oerasi
      2. Dorong aktivitas sesuai toleransi dengan periode istirahatperiodik
      3. Diskusikan perawatan insisi, termasuk mengganti balutan, pembatasan mandi
      4. Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh peningkatan nyeri, edema/eritema luka, adanya drainase
Doenges

DAFTAR PUSTAKA

  1. Doenges, Marilynn E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta. EGC
  2. Price, SA, Wilson,LM. (1994). Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Buku Pertama. Edisi 4. Jakarta. EGC
  3. Smeltzer, Bare (1997). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC
  4. Swearingen. (1996). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 2. K\Jakarta. EGC

ASkep malformasi anorektal

Askep / Asuhan Keperawatan Malformasi Anorektal

Post Description : 

Definisi / Pengertian Malformasi Anorektal

Malformasi anorektal (anus imperforate) ialah suatu malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai jalan keluar. Jadi pada kasus ini anus tertutup sama sekali dan tebalnya bagian yang tertutup ini bermacam-macam.

Klasifikasi Malformasi Anorektal

Terdapat 3 macam bentuk anus imperforate :
  1. Anomali tinggi (Supralevator) : Rektum berakhir diatas M.Levat0r ani (M.Puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum > 1 cm. Letak supralevator biasanya disertai dengan fistel kesaluran kencing atau kesaluran genital
  2. Anomali Intermediate : Rektum terletak pada M.Levator ani tapi tidak menembusnya
  3. Anomali Rendah : Rektum berakhir dibawah >Levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm.

Etiologi Malformasi Anorektal

Penyebabnya tidak diketahui. Tidak ada faktor resiko jelas yang mempengaruhi seorang anak dengan anus imperforata. Tetapi, hubungan genetik terkadang ada. Paling banyak kasus anus imperforata jarang tanpa adanya riwayat keluarga, tetapi beberapa keluarga memiliki anak dengan malformasi.

Patofisiologi Malformasi Anorektal

Embriogenesis malformasi ini tidak jelas. Rectum dan anus berkembang dari bagian dorsal usus atau ruang cloaca ketika mesenchym bertumbuh ke dalam membentuk septum anorectum pada midline. Septum ini memisahkan rectum dan canalis anus secara dorsal dari vesica urinaria dan uretra. Ductus cloaca adalah penghubung kecil antara 2 usus. Pertumbuhan ke bawah septum urorectalis menutup ductus ini selama 7 minggu kehamilan.
Selama itu, bagian ventral urogenital berhubungan dengan dunia luar; membran analis dorsalis terbuka kemudian. Anus berkembang dengan penyatuan tuberculum analis dan invaginasi external, diketahui sebagai proctodeum, yang mengarah ke rectum tetapi terpisah oleh membran anal. Membran pemisah ini akan terpisahkan pada usia 8 minggu kehamilan.
Gangguan perkembangan struktur anorectum pada tingkat bermacam-macam menjadi berbagai kelainan, berawal dari stenosis anus, anus imperforate, atau agenesis anus dan gagalnya invaginasi proctodeum. Hubungan antara tractus urogenital dan bagian rectum menyebabkan fistula rectourethralis atau rectovestibularis.

Tanda dan Gejala Malformasi Anorektal

Secara klinik pada bayi ditemukan tidak adanya mekonium yang keluar dalam waktu 24-48 jam setelah kelahiran atau tidak tampak adanya lubang anus. Untuk mengetahui kelainan ini secara dini, pada semua bayi baru lahir harus dilakukan pemasukan thermometer melalui anus.
Tindakan ini tidak hanya untuk mengetahui suhu tubuh, tetapi juga untuk mengetahui apakah terdapat anus imperforata atau tidak. Bila anus terlihat normal dan terdapat penyumbatan yang lebih tinggi dari perineum maka gejala akan timbul dalam 24-48 jam, berupa perut kembung, muntah, tidak bisa buang air besar dan ada yang mengeluarkan tinja dari vagina atau ureter.

Pemeriksaan Diagnostik / Penunjang Malformasi Anorektal

  1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostic yang umum dilakukan pada gangguan ini
  2. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium
  3. Pemeriksaan sinar-X lateral inverse (teknik Wangensteen-Rice) dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada atau di dekat perineum; dapat menyesatkan jika rectum penuh dengan mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal
  4. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak kantong rectal
  5. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan cara menusukkan jarum tersebut sambil melakukan aspirasi; jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm, defek tersebut dianggap sebagai defek tingkat tinggi

Komplikasi Malformasi Anorektal

Semua pasien yang mempunyai malformasi anorectal dengan komorbiditas yang tidak jelas mengancam hidup akan bertahan. Pada lesi letak tinggi, banyak anak mempunyai masalah pengontrolan fungsi usus dan juga paling banyak menjadi konstipasi. Pada lesi letak rendah, anak pada umumnya mempunyai control usus yang baik, tetapi masih dapat menjadi konstipasi.
Komplikasi operasi yang buruk berkesempatan menjadi kontinensia primer, walaupun akibat ini sulit diukur. Reoperasi penting untuk mengurangi terjadinya kontinensia. Kira-kira 90% anak perempuan dengan fistula vestibulum, 80% anak laki-laki dengan fistula ureterobulbar, 66% anak laki-laki dengan fistula ureteroprostatic, dan hanya 15% anak laki-laki dengan fistula bladder-neck mempunyai pergerakan usus yang baik. 76% anak dengan anus imperforata tanpa fistula mempunyai pergerakan usus yang baik.
Selain itu, komplikasi lain yang dapat muncul yaitu :
  1. Asidosis hiperkloremia
  2. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan
  3. Komplikasi jangka pendek :
  4. Eversi mukosa anal
  5. Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
  6. Masalah atau kelambatan yang baerhubungan dengan toilet training
  7. Inkontinensia (akibat stenosis anal atau impaksi)
  8. Prolaps mukosa anorektal (menyebabkan inkontinensia dan rembesan persisten)
  9. Fistula kambuhan (karena tegangan di area pembedahan dan infeksi).

Penatalaksanaan / Pengobatan Malformasi Anorektal

Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan defek. Semakin tinggi lesi, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk anomaly tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir. Bedah definitifnya, yaitu anoplasti perineal (prosedur penarikan perineum abdominal), umumnya ditunda 9-12 bulan.
Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya. Lesi rendah diatasi dengan menarik kantong rectal melalui sfingter sampai lubang pada kulit ananl. Fistula, bila ada harus ditutup. Defek membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang minimal. Membran tersebut dilubangi dengan hemostat atau scalpel.
Pada kebanyakan kasus, pengobatan malformasi anorektal memerlukan dua tahap tindakan pembedahan. Untuk defek ringan sampai sedang, prognosisnya baik. Defeknya dapat diperbaiki, peristalsis dan kontinensia normal juga dapat diperolah. Defek yang lebih berat umumnya disertai anomaly lain, dan hal tersebut akan menambah masalah pada hasil tindakan pembedahan. Anus imperforata biasanya memerlukan operasi sedang untuk membuka pasase feses.
Tergantung pada beratnya imperforate, salah satu tindakan adalah anoplasti perineal atau colostomy : prosedur operasi termasuk menghubungkan bagian atas colon dengan dinding anterior abdomen, pasien ditinggalkan dengan lubang abdomen disebut stoma. Lubang ini dibentuk dari ujung usus besar melalui insisi dan sutura ke kulit.
Setelah colostomy, feses dibuang dari tubuh pasien melalui stoma, dan terkumpul dalam kantong yang melekat pada abdomen yang diganti bila perlu. Pengobatan pada anus malformasi anorektal juga dapat dilakukan dengan jalan operasi PSARP (Posterio Sagital Anorectoplasy). Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien.
Teknik ini merupakan ganti dari teknik lama yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini mempunyai resiko gagl tinggi karena harus membuka dinding abdomen
Malformasi Anorectal Malformasi Anorectal Malformasi Anorectal

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian Askep Malformasi Anorektal

  1. Lakukan pengkajian kepatenan lubang anal pada bayi baru lahir
  2. Observasi adanya pasase mekonium. Perhatikan bila mekonium tampak pada orifisium yang tidak tepat.
  3. Observasi feses yang seperti karbon pada bayi yang lebih besar atau anak kecil yang mempunyai riwayat kesulitan defekasi atau distensi abdomen
  4. Bantu dengan prosedur diagnostik mis : endoskopi, radiografi

Dioagosa Keperawatan Askep Malformasi Anorektal

  1. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan. intake tidak adekuat
  2. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
  3. Konstipasi berhubungan dengan gangguan pasase feses, feses lama dalam kolon dan rectum
  4. Distres pernafasan berhubungan dengan distensi abdomen
  5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan colostomy
  6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya kolostomi
  7. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber informasi

Intervensi Keperawatan Askep Malformasi Anorektal

  1. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake tidak adekuat
    1. Tujuan : Mempertahankan Berat Badan stabil / menunjukkan kemajuan peningkatan Berat Badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal
    2. Intervensi Keperawatan :
      1. Pertahankan potensi selang Naso-gastrik. Jangan mengembalikan posisi selang bila terjadi perubahan posisi.
        Rasional : Memberikan istirahat pada traktus GI. Selama fase pasca operasi akut sampai kembali berfungsi normal
      2. Berikan perawatan oral secara teratur
        Rasional : Mencegah ketidaknyamanan karena mulut kering dan bibir pecah
      3. Kolaborasi pemberian cairan IV,
        Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi sampai masukan oral dapat dimulai
      4. Awasi pemeriksaan laboratorium. Misalnya Hb / Ht dan elektrolit.
        Rasional : Indikator kebutuhan cairan / nutrisi dan keaktifan terapi dan terjadinya konstipasi.
  2. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
    1. Tujuan :
      1. Menyatakan nyeri hilang
      2. Menunjukkan rileks, mampu tidur, dan istirahat dengan tepat
    2. Intervensi Keperawatan :
      1. Catat keluhan nyeri, durasi, dan intensitasn nyeri
        Rasional : Membantu mendiagnosa etiologi perdarahan dan terjadinya komplikasi
      2. Catat petunjuk nonverbal. Mis: gelisah, menolak untuk bergerak
        Rasional : Bahasa tubuh / petunjuk non verbal dapat secara prikologis dan fisiologis dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengidentifikasi masalah
      3. Kaji faktor-faktor yang dapat meningkatkan / menghilangkan nyeri
        Rasional : Menunjukkan faktor pencetus dan pemberat dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi
      4. Berikan tindakan nyaman, seperti pijat penggung, ubah posisi dan
        Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan perhatian, dan meningkatkan koping
      5. Kolaborasi pemberian analgetik
        Rasional : Memudahkan istirahat dan menurunkan rasa sakit
  3. Konstipasi berhubungan dengan gangguan pasase feses, feses lama dalam kolon dan rectum
    1. Tujuan :
      1. Menormalkan fungsi usus
      2. Mengeluarkan feses melalui anus
    2. Intervensi Keperawatan :
      1. Kaji fungsi usus dan karakteristik tinja
        Rasional : Memperoleh informasi tentang kondisi usus
      2. Catat adanya distensi abdomen dan auskultasi peristaltik usus
        Rasional : Distensi dan hilangnya peristaltic usus menunjukkan fungsi defekasi hilang
      3. Berikan enema jika diperlukan
        Rasional : Mungkin perlu untuk menghilangkan distensi
  4. Distres pernafasan berhubungan dengan distensi abdomen
    1. Tujuan: Pola nafas efektif, tidak ada gangguan pernafasan
    2. Intervensi Keperawatan :
      1. Observasi frekuensi / kedalaman pernafasan
        Rasional : Nafas dangkal, distress pernafasan, menahan nafas, dapat menyebabkan hipoventilasi
      2. Dorong latihan napas dalam
        Rasional : Meningkatkan ekspansi paru maksimal dan alat pembersihan jalan napas, sehingga menurunkan resikoatelektasis
      3. Berikan oksigen tambahan
        Rasional : memaksimalkan sediaan O2 untuk pertukaran dan peningkatan kerja nafas
      4. Tinggikan kepala tempat tidur 300
        Rasional : Mendorong pengembangan diafragma / ekspansi paru optimal dan meminimalkan isi abdomen pada rongga thorax
  5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan colostomy
    1. Tujuan : Meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu dan bebas tanda infeksi
    2. Intervensi Keperawatan :
      1. Observasi luka, catat karakteristik drainase
        Rasional : Perdarahan pasca operasi paling sering terjadi selama 48 jam pertama, dimana infeksi dapat terjadi kapan saja
      2. Ganti balutan sesuai kebutuhan, gunakan teknik aseptik
        Rasional : Sejumlah besar drainase serosa menuntut pergantian dengan sering untuk menurunkan iritasi kulit dan potensial infeksi
      3. Irigasi luka sesuai indikasi, gunakan cairan garam faali
        Rasional : Diperlukan untuk mengobati inflamasi infeksi praap / post op
  6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya kolostomi
    1. Tujuan:
      1. Menyatakan penerimaan diri sesuai situasi
      2. Menerima perubahan kedalam konsep diri
    2. Intervensi Keperawatan :
      1. Dorong pasien/orang terdekat untuk mengungkapkan perasaannya
        Rasional : Membantu pasien untuk menyadari perasaannya yang tidak biasa
      2. Catat perilaku menarik diri. Peningkatan ketergantungan
        Rasional : Dugaan masalah pada penilaian yang dapat memerlukan evaluasi lanjut dan terapi lebih kuat
      3. Gunakan kesempatan pada pasien untuk menerima stoma dan berpartisipasi dan perawatan
        Rasional : Ketergantungan pada perawatan diri membantu untuk memperbaiki kepercayaan diri
      4. Berikan kesempatan pada anak dan orang terdekat untuk memandang stoma
        Rasional : Membantu dalam menerima kenyataan
      5. Jadwalkan aktivitas perawatan pada pasien
        Rasional : Meningkatkan kontrol dan harga diri
      6. Pertahankan pendekatan positif selama tindakan perawatan
        Rasional : Membantu pasien menerima kondisinya dan perubahan pada tubuhnya
  7. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber informasi
    1. Tujuan : Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi / proses penyakit, tindakan dan prognosis
    2. Intervensi Keperawatan :
      1. Tentukan persepsi anak tentang penyakit
        Rasional : Membuat pengetahuan dasar dan memberikan kesadaran kebutuhan belajar individu
      2. Kaji ulang obat, tujuan, frekuensi, dosis
        Rasional : Meningkatkan pemahaman dan kerjasama
      3. Tekankan pentingnya perawatan kulit pada orang tua
        Rasional : Menurunkan penyebaran bakteri
Bagan penatalaksanaan bayi dengan malformasi anorektal
Bagan penatalaksanaan bayi dengan malformasi anorektal